KENDARI – Menanggapi persoalan banjir bandang yang terjadi di Desa Boenaga Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), merupakan bencana alam yang diakibatkan dari dampak usaha kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh salah satu perusahaan yang beroperasi di wilayah Blok Boenaga.
Berdasarkan informasi diterima, data maupun keterangan dari warga setempat bahwa bencana terjadi saat malam hari (06/07/22) tepatnya sekitar subuh hingga menjelang siang.
Sebanyak 12 rumah warga terdampak, gedung sekolah dasar (SD), SMP termasuk halaman sekolah dan ruas jalan digenangi lumpur berwarna merah kecoklatan.
Kesaksian masyarakat bahwa lumpur tambang berasal dari operasi produksi di wilayah konsesi Izin Usaha Pertambangan ( IUP ) PT Manunggal Sarana Surya Pratama ( MSSP )
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Explor Anoa Oheo ( EXOH ), Ashari mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI untuk mengambil sikat tegas menghentikan kegiatan penambangan di desa itu.
Dia menilai, jika ada niatan tulus semestinya perusahaan melakukan lebih awal edukasi penanggulangan pencemaran, yang salah satunya adalah memberikan informasi peringatan akan potensi bahaya pencemaran kepada masyarakat. Hal demikian malah terbalik justru warga setempat seringkali menyampaikan peringatan itu namun enteng ditanggapinya.
“Bentang alam pegunungan Boenaga sebelum di eksploitasi terdapat dua titik utama alur aliran air yang menghubungkan ke laut. Antaranya satu aliran di titik tempat kejadian banjir bandang dan satunya lagi ke arah laut Desa Boedingi,” kata Ashari dalam press reles yang diterima awak media ini, Jumat (8/7/2022)
Menurut Ashari, aksi cepat penanganan dampak adalah merupakan bentuk penyesalan perusahaan, ambigu yang berlebihan agar menjadi perhatian klasik dengan meyakinkan publik bahwa urusan sudah selesai. Apalagi dengan alibi dikatakan bahwa bencana terjadi di luar kehendak pihak perusahaan, seolah-olah menyalahkan faktor alam.
“Seharusnya cuaca hujan tidak bisa disalahkan, pembuatan kolam pengendapan atau sedimentpont. Seharusnya dilakukan kajian teknis lingkungan dan kajian geotek, kajian lingkungan dengan melakukan pengambilan data mulai dari pemetaan aliran air, perhitungan ketsmen area penambangan, pengambilan data curah hujan tertinggi, kemudian dilakukan perhitungan untuk menentukan luasan area sediment pont, sedangkan kajian geotek untuk menentukan kestabilan lereng sehingga tidak terjadi longsor. Kalau pengakuan sudah melakukan langkah preventif, lalu bukti kajiannya mana ?. Apakah sudah ada persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Inspektur Tambang ?,” tanya Ashari.
“Jika jawaban sepihak seperti itu oleh PT MSSP, maka dikemudian hari akan terjadi dampak yang lebih dahsyat lagi kelak. Andai kata masyarakat balik bertanya minta upaya restorasi lingkungan apakah perusahaan mampu realisasi kan ?,” lanjutnya.
Ashari kembali menegaskan, jika upaya prenfentif PT MSSP adalah rangkaian penanganan yang sifatnya sementara sebagai bagian kewajiban dan tanggung jawab sosial perusahaan, bukan berarti perkara sudah clear.
“Kasus semacam ini menyangkut tehnis tata kelola pertambangan dan lingkungan, tidak ada undang-undang lingkungan yang menyebutkan baku atur antara perusahaan dengan masyarakat. Maka dari itu, Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup di atur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang akan ditinjau baik dari sisi perdata maupun pidananya,” ujarnya.
Ashari melihat, kasus banjir lumpur yang melanda warga Boenaga merupakan dampak dari ulah kegiatan pertambangan PT MSSP. Makanya diperlukan tenaga ahli personil dari Kementerian LHK RI khusus bidang ekonomi lingkungan untuk mengkaji serta menghitung seberapa besar kerugian material yang ditimbulkan.
“Kasus perdata semacam inilah mestinya kita pahami bersama bahwa penyelesaiannya bukan soal kemauan pihak perusahaan mau bayar berapa atau sebaliknya masyarakat minta berapa,” terangnya.
Ashari melihat, ada dugaan pidana dibalik msuibah tersebut. Di mana disinyalir kuat PT MSSP melakukan eksploitasi tanpa izin lingkungan, dikarenakan perusahaan tersebut tidak mengantingu izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian LHK RI.
“Pemerintah melalui KLHK RI harus mengambil sikap tegas memberhentikan aktivitas PT MSSP,” ucapnya.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak perusahaan belum dapat dikonfirmasi. Pesan WhatsApp yang dikirim kepada perwakilan perusahaan sampai saat ini belum ada jawaban.
Laporan : Renaldy