KENDARI – Empat tahun berlalu, kasus dugaan korupsi penjualan nikel yang berasal dari kawasan hutan lindung yang masuk dalam IUP OP PT Antam Konawe Utara (Konut) semakin redup. Padahal, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) telah memeriksa 27 orang saksi dalam kasus korupsi tersebut. Namun tidak satupun yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Huku Sulawesi Tenggara (Ampuh Sultra), Hendro Nilopo, empat tahun merupakan waktu yang cukup bagi Kejaksaan Tinggi untuk mengungkap kasus korupsi pertambangan yang terjadi di dalam Wilayah IUP OP PT Antam Konawe Utara.
“Empat tahun ini waktu yang cukup lama loh, kalau ngga salah informasi dari Kejati Sultra sendiri, bahwa kasus ini mulai di selidiki sejak tahun 2019 lalu,” ucap Hendro kepada awak media ini, Kamis (27/4/2023).
Padahal, lanjut Hendro, jika dilihat dari pengungkapan kasus korupsi lainnya, Kejati Sultra mampu mengungkap hanya dalam waktu yang singkat.
“Contoh kasus suap alfamidi (PT MUI), itu singkat loh. Yang diperiksa belum 10 orang kalau ngga salah, tapi tersangka sudah ada 2 orang yang ditetapkan,” sebut Hendro.
Sebelumnya, Kejati Sultra melalui Kasi Intelijen Kejati Sultra, Ade Hermawan mengatakan, penyelidikan terkait dugaan korupsi penjualan nikel dari dalam IUP OP PT Antam sudah dilaksanakan sejak tahun 2019 lalu. Sehingga pada Oktober 2022, Kejati memulai penyidikan dan pemeriksaan terhadap 27 orang saksi.
Namun, dari 27 orang sudah diperiksa oleh Kejati Sultra belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pertambangan di WIUP OP PT Antam Konut.
Oleh karena itu, Hendro menyarankan, agar pihak Kejati Sultra fokus mengungkap kasus korupsi di WIUP OP PT Antam Konut. Sebab kasus tersebut dinilai cukup besar dari aspek kerugian masyarakat, daerah dan negara.
“Potensi kerugian Daerah dan Negara dalam kasus korupsi di WIUP OP PT Antam Konut ini cukup besar. Sehingga saran kami agar Kejati Sultra fokus untuk menuntaskan,” pinta Egis sapaan akrabnya.
Mahasiswa S2 Hukum Pidana Universitas Jayabaya Jakarta itu menuturkan bahwa dugaan tindak pidana yang terjadi di wilayah IUP OP PT Antam sangat kompleks dan diduga melibatkan koorporasi. Mulai dari kejahatan Lingkungan, Pertambangan, Kehutanan, TPPU dan lain sebagainya. Dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif.
“Mungkin kekuatan besar itu (koorporasi_red) yang menghalangi, sehingga Kejati Sultra cukup kewalahan untuk mengusut tuntas kasus ini menurut kami,” katanya.
“Sebab dari empat tahun kasus ini didalami, dari proses penyelidikan hingga penyidikan. 27 orang telah diperiksa, tapi belum ada satupun yang ditetapkan sebagai tersangka,” tambah Egis.
Hendro juga menyinggung terkait tujuh orang saksi yang pernah dipanggil oleh Kejati Sultra, namun hanya dua orang yang memenuhi panggilan tersebut. Sedangkan lima orang lainnya mangkir dari panggilan penyidik.
“Kelanjutannya seperti apa sekarang? Masa yang mangkir itu tidak ada pemanggilan lanjutan. Kan ada panggilan kedua, ketiga dan seterusnya,” tutupnya.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sultra, Dody mengatakan, dalam penyidikan kasus tersebut Kejati mengagendakan pemeriksaan tujuh orang saksi. Namun, kata Dody, yang hadir memberikan keterangan hanya dua orang, sedangkan lima orang lainnya mangkir dari panggilan.
“Hari ini, Selasa (23/2/23) hanya dua orang saksi dari inspektur tambang yang datang memenuhi panggilan penyidik,” ujar Dody melalui keterangan tertulis yang diterima media, pada 23 Februari 2023 lalu.
Adapun kelima orang yang mangkir dari panggilan penyidik yakni, tiga orang Inspektur Pengawas PT Kabaena Kromit Pratama (PT KKP) tahun 2018, 2020 dan 2022, Direktur PT Bintang Mineral Sejahtera (PT BMS) dan Direktur Kurnia Mineral Celebes (PT KMC).
Laporan : Renaldy
Komentar