KONAWE UTARA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), resmi merekomendasikan pemberhentian sementara aktivitas pertambangan PT Antam di Tapunopaka.
Rekomendasi pemberhentian sementara perusahaan BUMN itu lantaran mencuatnya polemik pemilik lahan yang tak kunjung ditunaikan. Sehingga sikap tegas diambil DPRD Konut dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama pemilik dan pihak PT Antam, Kamis 12 Agustus 2021 bertempat di aula dewan setempat.
Dias, salah satu pemilik lahan dalam rapat dengar pendapat itu mengatakan, jika ada 203 surat keterangan tanah dengan luasan 406 hektare yang berada dalam wilayah konsesi PT Antam yang belum direalisasikan.
Bahkan, lanjut Dias, pemilik lahan telah melakukan pertemuan dengan PT Antam sebanyak empat kali untuk membahas persoalan tersebut, namun hingga saat ini belum ada realisasi.
“Kami sudah empat kali pertemuan dengan PT Antam, tapi belum ada realisasinya,” ujar Dias.
Yunior Legal PT Antam, Nofu Alia Nurfausiah, dihadapan pimpinan DPRD Konut mengatakan, dalam Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan ini belum berlaku untuk 203 SKT yang dikeluarkan kepala desa tahun 2007.
Sehingga, untuk pembebasan lahan yang dimaksud, PT Antam mengacu pada Undang-undang nomor 11 tahun 1997 dalam salah satu pasal dimana diatur tidak dapat diberikan hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
“Jadi dasarnya kami mengacu keaturan ini,” katanya.
Pihaknya menjelaskan, jika PT Antam telah memenangkan di PTUN tingkat pertama dan telah ingkrah ditingkat kasasi Mahkamah Agung, dimana putusannya mengabulkan gugatan PT Antam dan membatalkan 203 SKT.
Sementara itu, JM PT Antam Cabang Konut Hendra Wijayanto mengatakan, dengan putusan inkrah MA pihak perusahaan telah berkoordinasi meminta evaluasi kepada pengacara tinggi negara.
“Dari evaluasi itu bahwa memang IUP yang di Tapunopaka dimenangkan sesuai putusan Mahkamah Agung. Kemudian SKT yang ada dinyatakan tidak berlaku dan diminta untuk dicabut oleh pejabat yang terkait,” ujarnya.
Menurut Hendra, rujukan pembayaran pembebasan lahan dapat dilakukan oleh PT Antam melalui putusan pengadilan dan telah ingkrah di Mahkamah Agung.
“Karena sudah keluar putusan pengadilan, kami sebagai perusahaan negara tidak bisa melakukan penggantian lahan yang telah dinyatakan lahan tersebut bukan lahan yang sah dimiliki oleh perorangan atau kelompok masyarakat,” katanya.
Mendengar penjelasan pihak PT Antam, Anggota DPRD Konut Sudiro menuturkan, masyarakat pemilik lahan telah melakukan pertemuan dengan PT Antam sebanyak empat kali guna membahas rencana pembebasan lahan.
Namun disayangkan, langkah dan niat baik masyarakat malah dibalas oleh perusahaan BUMN itu dengan mengajukan persoalan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
“Muncul kemudian pihak PT Antam mengajukan gugatan ke PTUN. Apa alasannya PT Antam memilih perkara ketimbang memperhatikan langkah-langkah persuasif. Padahal BUMN yang punya tanggung jawab moril mensejahterakan masyarakat. Padahal saya tau, sudah ada bagian kecil di Konut yang dibebaskan ganti rugi oleh PT Antam, termasuk saya,” bebernya.
“Kenapa berhenti di situ baru memilih perkara. Saya ingin menyatakan sikap ini, jangan menggunakan kekuatan yang dimiliki BUMN ini untuk mengintervensi masyarakat. Menggiring masyarakat untuk berperkara karena lemah tak berdaya. Padahal sudah ada langkah sebelumnya,” katanya.
Sudiro menanggapi soal putusan inkrah Mahkamah Agung apakah sudah dilakukan eksekusi dan jika itu telah dilakukan maka dirinya meminta bukti eksekusi itu.
“Nyatanya belum dieksekusi sudah melakukan kegiatan, itu juga pelanggaran hukum. Bukan itu penyelesaian masalah, sebelum ada eksekusi masih bisa kita melahirkan solusi. Kalau ada gesekan dimasyarakat siapa yang mau tanggung jawab,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Konut, Herman B merasa heran dengan sikap PT Antam yang diketahui memperkarakan persoalan tersebut padahal jauh sebelumnya perusahaan plat merah itu pernah melakukan pembayaran pembebasan lahan dihamparan yang sama.
“Yang saya pertanyakan mengapa PT Antam lebih memilih memperkarakan ketimbang mebebaskan, padahal sebelumnya sudah pernah melakukan,” ujarnya.
Hal itu pun diungkapkan Wakil Ketua II DPRD Konut, I Made Tarubuana. Kata dia, keberadaan PT Antam di Tapunopaka harusnya menjadi contoh bagi perusahaan swasta yang ada di Bumi Oheo.
“Mohon maaf, anda itu perusahaan negara seharusnya memberikan contoh. Anda didirikan oleh negara dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi faktanya hari ini. Di sini di Konut ada namanya hukum adat dan itu diakui oleh pemerintah. Kami tidak memvonis perusahaan angkat kaki dari sini, tapi minimal urus masyarakat kami. Apa yang menjadi tuntutan masyarakat kami, wajib perusahaan untuk menjawab,” terangnya.
Diujung RDP yang dipimpin oleh Ketua DPRD, Ikbar dihasilkan tiga rekomendasi yang dibacakan oleh Ketua Badan Legislasi, Rasmin Kamil.
Ketiga rekomendasi itu adalah akan memberikan dukungan penuh kepada pemilik lahan yang diwakili oleh kelompok Samaturu dan mungkin juga terlibat Pemda untuk menempuh upaya peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung dengan melampirkan bukti baru bisa dicontohkan seperti SK Bupati tahun 2015 terkait pemberhentian IUP PT Antam.
Bukti baru juga dapat dijadikan bahwa tanah tersebut adalah tanah hulayat termasuk berita acara negosiasi dengan pihak PT Antam. Karena akan adanya peninjauan kembali oleh pemilik lahan dan Pemda, dan belum adanya eksekusi atas putusan MA maka seluruh aktivitas PT Antam di Tapunopaka untuk sementara dihentikan.
Selama masa pemberhentian aktivitas sementara, DPRD Konut mendorong dan mendukung negosiasi penyelesaian antara pemilik lahan dan PT Antam, serta tentang mekanisme ganti rugi yang akan ditempuh.
Laporan : Mun
Komentar