KONAWE UTARA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama masyarakat pemilik lahan di Desa Pondoa dan Moputeh Kecamatan Wiwirano serta pihak PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) dan KPHP Laiwoi Utara, Senin (7/11/2022) bertempat di aula rapat legislatif setempat.
RDP yang dipimpin oleh Ketua Komisi II, Rasmin Kamil dan dihadiri oleh Wakil Ketua I, Indra Supriadi, Wakil Ketua II, I Made Tarubuana, Ketua Komisi I, Herman Sawani adalah untuk membahas polemik lahan yang ada di Desa Pondoa, Mopute.
Dalam RDP tersebut terkuak jika manajemen PT SCM telah merealisasi uang yang disebut sebagai tali asih kepada masyarakat sebesar Rp4 miliar.
Mirisnya, dana sebesar itu dikucurkan sementara status lahan tersebut berada dalam kawasan hutan produksi (HPT) yang jika berdasarkan aturan harus mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hal tersebut lantas mengundang reaksi dari KPHP XIX Laiwoi Utara melalui Kepala Seksi Perlindungan Hutan Konservasi Sumber Daya Alam dan Perlindungan Masyarakat, Nasruddin.
Kata dia, polemik yang terjadi di Kuya pihak KPHP telah turun kelapangan melakukan pengambilan titik koordinat berdama Camat Wiwirano. Dan sesuai peta kawasan hutan nomor 465 tahun 2011 kemudian peta nomor 4659 tahun 2020 tentang penetapan kawasan hutan.
“Lokasi pembuatan rumah di daerah Kuya Desa Pondoa berada dalam kawasan hutan produksi,” katanya.
Setelah itu, KPHP telah melakukan permintaan keterangan kepada warga terkait keberadaan di Desa Pondoa. Di dalam pemeriksaan itu, warga menceritakan terkait sejarah.
“Secara hukum setelah kami mengambil referenshi terkait persoalan itu tapi kami belum menemukan hal tersebut. Karena di dalam peta kami tidak ada satu areal yang menyebutkan soal hal itu,” ujarnyan.
Meski demikian, KPHP XIX Laiwoi Utara tidak serta melakukan penindakan hukum. Namun, pendekatan sosiologis hukum tetap dilakukan.
Pada tanggal 2 Februari 2022, lanjut Nasruddin, Pemkab Konut, Forkopimda, KPHP dan perwakilan masyarakat telah melakukan pertemuan bersama Bupati dan Forkopimda. Hasilnya, ada tiga poin rekomendasi yang diberikan.
Pertama, menghentikan aktivitas atau kegiatan apapun, baik warga Moputeh, Pondoa atau dari manapun juga. Kedua, melakukan kegiatan musyawarah antara rumpun terkait dan membentuk kelompok tani hutan yang ditetapkah kepala desa yang selanjutnya diajukan ke Kementerian terkait untuk dilakukan ferivikasi. Ketiga, jika ditemukan ada aktivitas didalam kawasan tersebut maka diserahkan kepada kepolisian untuk menindak.
“Di sini perlu kita luruskan, jangan salah tafsirkan. Sampai hari ini belum ada data yang kami tunggu sebagai data untuk memfasilitasi ke Kementerian,” ucapnya.
“Justru yang terjadi hari ini faktanya adalah membentuk tim sembilan. Kalau dari kami ini harusnya sudah jadi barang bukti untuk proses hukum, karena kasusnya ini ada transaksi. Kemudian yang kami sesalkan ke perusahaan, belum ada koordinasi ke KPHP ujung-ujungnya sudah ada transaksi. Legalitasnya apa,” sambungnya.
Anehnya, terang Nasruddin, setelah dikonfirmasi kepihak PT SCM ternyata baru sebatas konsultasi di Kementerian dan belum ada pemberian izin.
“Kenapa harus ada transaksi. Sementara syaratnya itu harus ada inventasasi tanaman yang melibatkan kehutanan, supaya kita bisa membedakan yang mana tanaman tumbuh alami dan mana tanaman budi daya, itulah yang harus dibayar,” terangnya.
“Makanya saya katakan, ada apa sebenarnya ini. Kemudian tim 9 kenapa itu yang dilakukan, kenapa tidak membentuk kelompok perhutani sosial. Kita bentuk dulu wadahnya supaya masyarakat terlindungi jeratan hukum. Meskipun tadi bunyinya hanya ganti rugi tanaman, tanaman mana yang dimaksud. Berapa jumlah tanaman yang dibayar itu hingga Rp4 miliar,” lanjutnya.
“Penjelasannya tadi Pak Desa dan Pak Usman pembayaran itu bukan berdasarkan tanaman, tapi dia berdasarkan luasan lahan. Saya sudah catat itu. Logika kita tidak masuk akal itu kalau tanaman. Pondoa 134 di kasih mahar Rp1,8 M, 113,4 untuk Kuya Rp1,5 M, 60,8 untuk Mopute Rp800 juta. Dia tidak menyebutkan tanaman, ini menyebutkan luas lahan. Bukan kami menyalahkan tapi ini sebuah kekeliruan,” tambahnya.
Berdasarkan pantauan awak media ini, RDP yang berlangsung sangat alot dan panas. Sesekali masyarakat yang hadir terlihat emosi mendengar penjelasan dari tim 9, Usman.
RDP yang dipimpin Ketua Komisi II DPRD Konut, Rasmin Kamil melahirkan sejumlah rekomendasi. Diantaranya, pertama, kampung Kuya di Desa Pondoa Kecamatan Wiwirano pemerintah daerah mengakui sebagai lokasi atau wilayah tanah adat yang dihuni. Kedua, seluruh hak adat masyarakat wajib dihargai dan dipertahankan oleh lemerintah daerah termasik investor yang ingin berinvestasi.
Ketiga, rencana permohonan perizinan PT Lestari Nusa Jaya Semesta (LNJS) anak perusahaan PT SCM untuk menjadikan wilayah Kuya ini sebagai tempat menyimpanan sisa batuan dapat dicari wilayah alternatif. Empat, proses realisasi pembayaran tanaman tumbuh di atas lahan Kuya tali asih atau penyebutan lain harus dihentikan sementara, baik yang sudah direalisasikan atau masih masih mengendap di bank atau pun relasisasi ke depan, termasuk dengan penghentian maka tim 9 ini harus dibubarkan.
“DPRD akan membentuk panitia khusus untuk menyelesaikan polemik di Pondoa,” kata Rasmin Kamil.
Sementara itu, Senior Manajer PT SCM, Bagimin yang dikonfirmasi usai RDP mengatakan, rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPRD Konut akan ditunggu untuk disampaikan kepimpinan.
“Belum menerima hasil rekomendasi nanti kami teruskan kepimpinan. Kami tunggu hasil tertulisnya. Tapi kami menghormati dan menghargai apa yang sudah disampaikan barusan (RDP red) pak ketua sidang,” katanya.
Menurut Bagimin, lahan di Desa Pondoa dan Mopute bukanlah sebuah persoalan. Namun bagi perusahaan melihatnya adalah sebuah proses yang sementara berjalan.
“Kami melihat bukan persoalan tapi proses yang sedang berjalan. Kami nggak ada melihat polemik apalagi konflik dengan masyarakat, kami nggak ada melihat itu,” ujarnya.
Laporan : Mumun
Komentar