KONAWE UTARA – Direktur Eksekutif Explor Anoa Oheo, Ashari menyayangkan atas apa yang menimpa nelayan di Desa Muara Tinobu Kecamatan Lasolo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Menurut Ashari, apa yang menimpa rakyat yang berprofesi sebagai nelayan merupakan sebuah nestapa dan jeritan masyarakat kecil.
Bagaimana tidak, Ashari melihat kasus hukum yang menimpa nelayan merupakan bukti jika dunia memang tidak adil.
Pasalnya, hutan dan gunung yang gundul rata karena tambang ilegal tidak ada masalah.
Ashari kembali pertanyakan, berawal dari langkah aparat penegak hukum terkait pembuatan bagang yang asal usul material kayunya di duga dari kawasan hutan membuat seorang nelayan bernama Saharuddin (47) mengalami kerugian.
“Bukan saja berupa materi namun lebih pada kerugian moril loh rakyat kita mengalaminya,” kata Ashari, Jumat (17/5/2024).
Ashari melihat, dalam menangani persoalan tersebut sebaiknya aparat penegak hukum mempertimbangkan solusi preventif dan edukatif yang lebih efektif.
“Kalau langsung masuk persoalan hukum, akan banyak pula sisi negatif yang timbul sebagai sebab akibat. Terutama eksistensi kepolisian dalam melakukan penegakan hukum dan membunuh roda perekonomian masyarakat setempat,” ujarnya.
Lanjut Ashari, proses hukum yang dilakukan oleh Polres Konawe Utara pada bulan ramadhan kemarin, memperlihatkan begitu reaksi cepat hingga melakukan polis line.
Bahkan, terang Ashari, prosesnya tanpa melakukan pendekatan sosial mendalam. Jika itu terjadi maka APH akan berhadapan dengan belasan kapal bagang yang sedang beroperasi di duga kuat berada pada status hukum yang sama.
“Demi keadilan dan kepastian hukum, Polres Konut mesti jentel mendalami serta menindaklanjuti laporan aduan dari Front Pemuda dan Mahasiswa Konawe Utara (FPMKU) bersama Aliansi Pemuda Tinobu dan Muara Tinobu (AP-TIMUR),” tantang Ashari.
“Kami bersaksi nelayan bagang rambo di Konawe Utara tidak faham soal aturan terkait masalah kehutanan, soal barang haram atau tidak. Lagipula yang mengawasinya ada yang lebih berkompeten yaitu polisi hutan,” katanya.
Ashari menambahkan, penafsiran yang kian mencolok ibarat sudut pandangnya berbeda memunculkan traveling ke mana-mana.
“Artinya jika polis line sudah terbentang pada akhirnya juga di buka kembali tanpa kepastian hukum yang jelas. Asumsinya liar dan bisa saja publik menilai semata sebuah ancaman, permainan atau sekedar gertakan. Lagipula garis polis line itu pakai uang negara,” imbuhnya.
“Pada prinsipnya laporan resmi dari beberapa lembaga terkait belasan bagang tersebut memang sangat perlu diperjelas statusnya. Ini semua demi azas sama rata di hadapan hukum. Kemudian, keberlangsungan bagang nelayan beroperasi juga mesti di atensi. Hal yang mutlak. Besok pasti bertambah dan dibangun pasti pakai bahan kayu kelas bukan dari besi baja,” tutup Ashari.
Laporan : Mumun