KONAWE UTARA – PT. Wirapati Bayangkara adalah satu di antara perusahaan pengembang wisata yang siap berinvestasi di Desa Labengki Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara.
Izin yang sudah lengkap baik diperoleh dari Kementerian BKPM, Kementerian LHK termasuk izin dari Pemda Konut dan Pemprov Sultra.
Ironisnya, izin yang dikeluarkan dianggap tidak memikirkan nasib kehidupan di Labengki dengan cara mengesampingkan hak rakyat yang secara turun temurun dimiliki warga.
Bagaimana mungkin kearifan lokal antar pengusaha dengan masyarakat bisa sinergi dan terwujud dengan baik, kalau pemerintah lepas tangan setelah memberikan izin. Hal itu yang menjadi pertanyaan Direktur Eksekutif Explor Anoa Oheo, Ashari.
“Investor atas izin yang dimilikinya, ironis jadikan dasar untuk intimidasi masyarakat setempat. Ada upaya transaksi yang sengaja di tawarkan kepada warga dengan jumlah tak wajar. Ada kesan bahwa mau atau tidak terima, lahan itu segera ditinggalkan,” kata Ashari, Rabu (20/9/2023).
Berdasarkan investigasi lapangan, lanjut Ashari, areal lahan yang di caplok oleh PT Wirapati Bayangkara merupakan lahan atau tanah warga.
“Di sana ada tumbuh pohon kelapa sebanyak 15 pohon yang di tanam puluhan tahun silam. Bukti lain juga terdapat sumur tua, menguatkan histori bahwasanya Pulo Mapara pernah di tinggali,” terangnya.
Menurut Ashari, hak tanah ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya.
“Posisinya kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya,” ujarnya
“Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan,” sambungnya.
Historical lahan itu adalah tanah Negara yang dimiliki oleh Almarhum Haji Ance secara turun temurun menjadi warisan kepada Puto Nusir (55) dan keluarganya.
“Mereka adalah orang yang menggarap dan manfaatkan lahan itu. Silahkan Negara menguasai tanah itu kalau diterlantarkan. Jika tidak jangan di rampas. Itu intinya,” tegasnya.
Dirinya menambahkan, industrialisasi wisata jangan mengabaikan kearifan lokal. Kedepan pengelolaan wisata harus berbasis komunitas dan berkelanjutan.
“Ini tugas oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam ( BKSDA ) Provinsi Sulawesi Tenggara. Stakeholder mesti memberikan edukatif kepada masyarakat,” terangnya.
Ashari melihat, jika terkadang pemerintah acuh dengan persoalan masyarakat. Nyaris jalan buntu pun di lakukan asalkan investasi masuk dan bisa jalan.
“Alih-alih padahal pura-pura tidak tahu investornya telah menindas rakyatnya. Saran kami, Pemkab Konut jangan vakum atau kaku menghadapi persoalan regulasi, apalagi menyangkut soal melindungi hak-hak rakyat,” katanya.
Perencanaan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus di gagas secara agresif. Peruntukannya tidak lain agar bisa mengakomodir beragam kebutuhan termasuk kepentingan warga Konut yang notabene, bahkan sampai saat ini masih memanfaatkan kawasan hutan sebagai keberlangsungan hidupnya.
“Konut geografis nya dikelilingi Hutan. Sebagai contoh di Kecamatan Wiwirano, area pemukiman dan perkebunan masih ada status kawasan hutan. Kecamatan Lembo juga terdapat kawasan hutan di alih fungsi oleh masyarakat sebagai kebun cengkeh. Kelak bisa saja menjadi masalah, mari belajar dari kasus Rempang Batam,” imbuhnya.
Sedangkan Konut, masih kata Ashari, kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Lasolo dengan luas 81.800 hektare terkhusus wilayah Labengki besar terdapat banyak titik-titik spot diincar oleh Investor resort.
“Pemda Konut harus jelih cermati peluang dan tantangan ke depan. Ini serius, kenapa ?. Karena di titik itu ada bentuk hak yang di klaim oleh masyarakat setempat. Jangan sampai terusik bahkan bisa jadi lokal setempat terusir,” cetusnya.
Ashari mengingatkan, masyarakat Bajo adalah adat terpencil yang merupakan kekayaan ragam budaya Indonesia yang ada di Labengki. Secara konstitusional mereka wajib berdaya bukan terperdaya.
“Mereka tidak menolak investor pengembang Wisata. Silahkan masuk investasi namun di balik nama Labengki yang sudah mendunia, jangan ada praktek belenggu, harkat dan martabat pun terampas,” ucapnya.
Untuk itu, Ashari berharap kepada Pj Gubernur Sultra, Andap Budi Revianto agar segera evaluasi dokumen administrasi perizinan PT Wirapati Bayangkara.
“Keabsahan izinnya bukan untuk menakut-nakuti masyarakat. Sekali lagi kami tegaskan bahwa harkat dan martabat daerah jauh lebih penting. Olehnya itu pelaku usaha tidak hanya sekedar investasi tapi diharapkan mampu wujudkan harmonisasi menuju pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,” tutupnya
Hingga berita ini ditayangkan, awak media ini masih berupaya mengkonfirmasi pihak PT Wirapati Bayangkara.
Redaksi