Menolak Pencalonan Narapidana

Opini114 Dilihat

Opini

Oleh : Ebit, SH

Nampak pada perhelatan pemilu tahun 2019 lalu di beberapa daerah masih terdapat mantan narapidana yang ikut mengadu visi-misi dalam perhelatan pemilu ketika itu. Ada yang di diskualifikasi oleh KPU dan adapula yang tidak. Bagi yang di diskualifikasi mengajukan perlawanan (upaya hukuk) yang diajukan ke Bawaslu dan Mahkamah Agung.

Menuju 2024, demokrasi elektoral Indonesia masih dibayang-bayangi oleh calon wakil rakyat yang memiliki rekam jejak buruk. Beberapa mantan narapidana sudah mengambil ancang-ancang.

Diskursus mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif menjadi isu hukum yang patutnya dapat terjawab oleh penyelenggara pemilihan umum setelah adanya beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan syarat pencalonan bagi mantan narapidana.

MEMBACA PUTUSAN MK

Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 pengujian atas Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu serta Pasal 58 huruf f UU Pemerintahan Daerah. Fokus pengujian berkaitan dengan syarat pencalonan pencalonan anggota DPD, bakal calon anggota DPR, DPRD serta Calon Kepala Daerah.

Khusus tentang syarat pencalonan yang disyaratkan calon anggota DPD, DPR, DPRD dan Kepala Daerah tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional).

MK mempertimbangkan dalam halaman 124. (Tentang Prinsip Pengisian Jabatan Publik) “…Terhadap jabatan publik yang pengisiannya dilakukan dengan cara pemilihan oleh rakyat, Mahkamah berpendapat, hal tersebut tidaklah dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul sendiri risiko pilihannya. Sebab, jabatan demikian haruslah dipangku oleh orang yang kualitas dan integritas tinggi…”

Bahwa atas pertimbangan itu, Mahkamah memberikan syarat kumulatif sebagaimana diuraikan di dalam Putusan Nomor 4/PUUVII/2009, Syarat pertama, larangan bagi mantan terpidana tetap berlaku, jika mekanisme pemilihan adalah melalui proses pemilu, serta orang yang bersangkutan tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih melalui putusan pengadilan yang terlah berkekuatan hukum tetap.

Syarat kedua, larangan mantan terpidana menjadi calon kepala daerah dapat dikesampingkan jika telah melalui masa tunggu selama 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani hukuman pidananya berdasarkan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Pertimbangan ini tentu saja untuk menjadi waktu transisi bagi warga negara bisa beradaptasi dan diterima kembali di dalam masyarakat.

Ketiga, larangan bagi mantan terpidana dapat dikesampingkan jika mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur kepada publik, bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Dan keempat, syarat bukan mantan terpidana dapat dikesampingkan jika mantan terpidana bukanlah pelaku kejahatan yang berulang;

Kedua, Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menguji ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada sebelum dilakukan pengujian yakni, “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekkuatan hukum tetap atau bagai bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepadda public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.

MK mempertimbangkan dalam putusannya halaman 60 bahwa “…calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana untuk diberi waktu yang dipandang cukup guna melakukan penyesuaian (adaptasi) di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa setelah selesai menjalani masa pidananya orang yang bersangkutan benar-benar telah mengubah dirinya menjadi baik dan teruji sehingga ada keyakinan dari pemilih bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan yang pernah dipidanakan kepadanya termasuk juga perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak hakikat pemimpin bersih, jujur, dan berintegritas”.

Pun pada tahun 2015 MK pernah merubah pendiriannya dalam putusan nomor 42/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya menghilangkan syarat kumulatif yang diputusakn oleh Mahkamah di dalam putusan nomor 4/PUU-VII/2009, dan hanya menyisakan satu syarat untuk mantan terpidana dapat menjadi calon kepala daerah, yakni secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa dirinya adalah mantan terpidana.

Namun MK kembali menegaskan syarat komulif waktu jeda lima tahun dan wajib mengumumkan statusnya sebagai mantan narapidana. MK kembali merujuk pada putusan nomor 4/PUU-VII/2009, antara waktu menunggu lima tahun dan kewajiban mengumumkan statusnya sebagai mantan narapidana berlaku komulatif.

Ketiga, Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 pengujian terhadap ketentuan mantan terpidana yang akan mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana ditentukan dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu, MK memaknai sama dengan putusan sebelumnya nomor 56/PUU-XVII/2019 bahwa syarat yang berlaku haruslah komulatif.

Norma pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Khusus syarat mantan narapidana yang mencalonkan sebagai DPR dan DPRD harus telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidananya.

Menariknya, dalam putusan ini MK berpandangan tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan umum dengan pemilihan kepala daerah. Disamakannya rezim tersebut juga selaras dengan diselaraskannya persyaratan calon bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan yang dipilih (elected officials).

Keempat, upayah untuk menjegal mantan narapidana menduduki jabatan public/ikut sebagai peserta perhelatan pemilu terus dilakukan oleh actor-aktor gerakan pro demokrasi. Beberapa bulan lalu, MK kembali menegaskan dalam putusannya nomor 12/PUU-XXI/2023 pengujian terhadap syarat pencalonan anggota DPD sebagaimana dimaksud Pasal 182 huruf g UU Pemilu.

Penguatan terhadap putusan sebelumnya oleh MK merupakan bentuk penyaringan individu yang serius dan juga untuk menghadirkan kandidat yang sesuai ekspentasi dalam pemilu. Maka syarat komprehensif adalah benteng utama dalam melakukan menyaringan.

Pun, mekanisme pengisian jabatan publik seperti Presiden, DPR, DPD, DPRD, dan Kepala Daerah, memang berdasarkan kehendak rakyat. Walaupun begitu, mekanisme pengisiannya tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa ada persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyat yang akan memikul sendiri resiko pilihannya.

Konsisten terhadap persyaratan pencalonan yang diberlakukan komulatif berlaku bagi mantan narapidana yang mau mencalonkan menjadi anggota DPD. Menariknya dalam beberapa putusan tersebut menjawab perdebatan tentang waktu jeda lima tahun dan syarat yang komulatif berlaku.

AKHIRI MASALAH LATEN

Tahapan pencalonan tak lama lagi, peraturan teknis pencalonan harusnya telah dibuat. Pembatasan hak mantan narapidana sudah final. Silang pendapat antara KPU dan Bawaslu pun harusnya diakhiri.

Agar terwujud pemilu yang jujur dan adil, telah ada kepastian hukum terhadap waktu jeda lima tahun bagi mantan narapidana yang mau mencalonkan sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sebagai pembuat aturan organiknya, KPU patutnya menyeleraskan putusan MK tersebut dalam aturannya. Agar juga tercipta keadilan pemilu bagi mantan narapidana.

Akhir perdebatan dengan terselaraskannya norma persyaratan calon bagi mantan terpidana yang akan mengajukan diri sebagai kepala daerah dan calon anggota DPR, DPD dan DPRD telah memberikan kepastian hukum dan sekaligus telah mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon Gubernur, Bupati, dan Walikota serta calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan.

Komentar