KONAWE UTARA – PT Bumi Sentosa Jaya (BSJ) adalah salah satu dari beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Blok Boenaga Kecamatan Lasolo Kepulauan, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Belum setahun ekspansi PT BSJ di wilayah tersebut, muncul keluhan dari masyarakat nelayan pemilik serong. Padahal, sebelum ada kegiatan penambangan, penghasilan dari hasil menangkap ikan bisa mencapai Rp50 juta perbulan.
Kondisi itu menjadi sorotan Direktur Eksekutif Explor Anoa Oheo, Ashari. Kata dia, nelayan pemilik serong, Puto Hatta mendatangi dirinya dan berkeluh kesah atas nasibnya.
Katanya, wajah Puto Hatta, sang nelayan di Pulau Boenaga terlihat lesu menyaksikan ulah pertambangan PT BSJ yang diduga merusak terumbu karang tempat ia biasa mengambil ikan.
Menurut Ashari, warga menyebut area tersebut adalah Boe Lambo dengan makna itu seperti kota mati dasar lautnya, ikan menghilang karena terumbu karangnya rusak oleh tambang.
“Kita mau mengadu dimana lagi. Perusahaan janji-janji, pemerintah Desa Boedingi saja pasrah. Kita mau lawan perusahaan, mana bisa kami ini orang kecil,” ujar Ashari yang menirukan bahasa sang nelayan, Sabtu (30/7/2022).
Masih kata Ashari, saat dirinya mendatangi kediaman Puto Hatta dan menemukan sudah trauma untuk melaut lagi.
“Kami coba bangkitkan semangatnya dengan membelikan perlengkapan pancing agar bisa kembali beraktifitas setidaknya bisa bertahan hidup menafkahi keluarganya,” katanya.
Trauma yang mendalam bapak Puto Hatta bukan tanpa alasan, lanjut Ashari, kurang lebih 5 alat tangkap serongnya beroperasi cukup mendatangkan rezeki buat keluarganya.
“Bahkan sebulan bisa mendapatkan Rp50 jutaan. Akibat dari dampak pembangunan pelabuhan jetty PT BSJ, sekarang sulit untuk mendapatkan hasil,” terangnya.
Makanya Ashari melihat, ada kekuatan dan kepentingan besar di tubuh manajemen PT BSJ yang diduga dengan sengaja berani dan tidak peduli nasib nelayan.
“Kami tidak hanya sebatas mengawal aspirasi bapak Puto Hatta. Semua mesti tuntas dari sisi legalitas perusahaan baik Amdalnya, izin lingkungan, termasuk perlintasannya di atas Taman Wisata Alam Laut ( TWAL ). Rekam jejak perusahaan kami sudah kantongi, tinggal pembuktian saja. Kami akan buka data by data, tunggu saja,” ucapnya.
Ditempat terpisah, Humas PT BSJ, Joko Sulistiyo mengatakan, pihak perusahaan telah melakukan pertemuan dengan nelayan serong, namun tanpa menghasilkan kesepakatan.
“Kita sudah pernah pertemuan yang difasilitasi dengan pemerintah desa. Waktu itu, excpektation beliau memang tinggi sekali meminta royalti, itu yang pertama. Menejemen perusahaan tidak bisa memberikan karena perusahaan menyerahkan ke pemerintah royalti,” katanya.
Joko membantah jika keberadaan jetty PT BSJ telah berakibat pada kurang penghasilan serong. Pasalnya, saat perusahaan membangun pelabuhan khusus serong milik nelayan tidak seluas saat ini.
“Kan itu dilebarkan lagi serongnya. Serongnya sekarang ini besar sekali. Sekarang itu serongnya direhab besar sekali setelah ada jetty,” belanya.
Saat ditanyai penyebab menurunnya penghasilan serong nelayan karena adanya dugaan kerusakan terumbu karang, Joko mengarahkan untuk meninjau lokasi secara langsung.
“Dari pada bingung lebih baik kita cek lokasi. Kalau saya itu senangnya cek lokasi, lihat langsung. Serongnya dulu tapi skala kecil, sekarang besar sekali,” katanya sambil ketawa kecil.
Sementara itu, Kepala Desa Boedingi, Aksar menuturkan, jika nelayan pemilik serong disekitar jetty PT BSJ bukanlah warganya.
“Di Boedingi nda ada masyarakat yang miliki serong. Kecuali masyarakat luar. Kalau itu jauh sebelumnya sudah tidak diaktifkan itu serong, nanti mereka lihat ada jetty di situ baru mereka buat baru serong itu. Sebenarnya kalau kita mau lihat nda ada pengaruhnya dengan serong karena tidak terlalu dekatji,” katanya.
Laporan : Mumun