KONAWE – Wakil Bupati Konawe, Gusli Topan Sabara bakal melapor ke Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait penyerobotan beberapa wilayah oleh Pemkab Konawe Utara, Kolaka Utara dan Morowali Sulawesi Tengah (Sulteng).
Dalam konferensi persnya, GTS menjelaskan, wilayah yang diserobot itu berada di sebelah timur yang berbatasan dengan Kecamatan Motui dan Kecamatan Bondoala, saat ini telah berkembang menjadi Kecamatan Kapoiala.
“Seluas 1.831 Hektar itu, harus dikembalikan oleh Konawe Utara ke Kabupaten Konawe Kecamatan Kapoiala,” ungkapnya diruang kerjanya, Selasa, 25 Mei 2021.
Dalam perda tersebut, pemekaran Kecamatan Lasolo yang dulu masih bagian dari Kabupaten Konawe, memekarkan Kecamatan Sawa yang saat ini menjadi Wilayah Konut.
“Desa Banggina, Tobimeita dan Samasubur yang merupakan Kecamatan Sampara sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 15 Tahun 2000,” tuturnya.
Wilayah lain yakni Desa Porara dan Laosu Jaya Kecamatan Kapoiala yang sekarang menjadi wilayah Desa Banggina, Tobimeita dan Samasubur. Ia mengakui, saat ini tapal batas antara kedua Kabupaten tersebut telah berubah.
“Sementara desa yang memekarkan ada di sebelah utara dari kali Motui,” jelasnya.
Gusli juga menjelaskan penyerobotan wilayah Konawe yang berada di sebelah utara yaitu di Kecamatan Routa, ia mengklaim Pemda Konut telah memindahkan tapal batas didaerah desa Lawali seluas 67.669 hektar.
” Saya meminta kearifan Pemda Konut saudaraku Ruksamin untuk berbesar hati mengembalikan kurang lebih 70 ribu hektar wilayah Kab. Konawe,” Imbaunya.
Kemudian, GTS menyoroti penyerobotan wilayah Konawe di kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah (Sultang).
“Kurang lebih seluas 70.000 hektar,” sebut Gusli.
Mantan Ketua DPRD dua periode itu menjelaskan, untuk masalah tapal batas ini, pihaknya bakal menyurat ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar cepat diselesaikan.
“Saya meminta lahan yang diserobot itu harus dikembalikan tanpa ada kompromi,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Pemkab Konut, Syukur Impi dengan tegas mengatakan jika apa yang dikatakan oleh Wabup Konawe tidaklah benar.
“Tidak betul, Banggina itu memang kita punya wilayah kok. Banggina kan dimekarkan pada saat masih Konawe, Matandahi masih Kecamatan Sawa saat itu,” katanya, Kamis 27 Mei 2021.
“Kan aneh. Kalau Banggina itu pemekaran Matandahi terus digiring wilayahnya, sementara batas itu jelas Kecamatan Sawa. Matandahi yang berada di Kecamatan Sawa pada tahun 2007 kemudian diklaim berada di Konawe kan aneh. Tidak benar itu,” lanjutnya.
Menurut Syukur Impi, pemekaran Kabupaten Konawe Utara bukan diatur dalam Perda namun oleh Undang-undang nomor 13 tahun 2007.
“Itu jelas. Kalau Konawe mengatakan berdasarkan Perda, tunggu dulu,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Syukur Impi, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Daerah pernah melakukan mediasi untuk persoalan tersebut di Provinsi. Namun pada saat penandatanganan berita acara Pemkab Konawe tidak hadir.
“Terus koar-koar di luar. Itu sudah tidak sehat sebenarnya. Kok penetapan batas wilayah pake Perda, yang benar saja. Kemudian kalau itu dijadikan rujukan pemekaran Konut, ya harusnya ributnya jangan sekarang, tahun 2002. Konut dimekarkan tahun 2007 sekarang sudah tahun 2021, sudah puluhan tahun lho. Kok baru hari ini ribut,” ucapnya.
Laporan : Aris/Mun